“Menjembatani Tradisi dan Inovasi: Merancang Pembaruan Hukum Berbasis Kearifan Lokal”

“Menjembatani Tradisi dan Inovasi: Merancang Pembaruan Hukum Berbasis Kearifan Lokal”

Minggu, 02 November 2025, November 02, 2025

Foto : Ahkmad Junaidi, S.H., M.H


Artikel : Akhmad Junaidi, S.H., M.H
Email: Edyjaya78@gmail.com

Pendahuluan

Hukum 
di Indonesia selalu berada dalam ketegangan antara dua kutub besar: tradisi dan inovasi.
Di satu sisi, hukum adat dan kearifan lokal mencerminkan identitas budaya bangsa yang telah mengatur kehidupan masyarakat jauh sebelum hadirnya sistem hukum modern warisan kolonial.
Di sisi lain, modernisasi hukum menuntut adanya kodifikasi, rasionalisasi, dan efisiensi untuk menjawab tantangan globalisasi, kemajuan teknologi, dan kompleksitas sosial kontemporer.

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto (2002) dalam Wiratraman (2015), sejarah hukum Indonesia adalah perjalanan panjang untuk menyeimbangkan antara sistem hukum Barat peninggalan kolonial dan hukum adat yang hidup di tengah masyarakat. Namun, modernisasi sering kali justru membuat hukum terasa asing bagi rakyatnya, karena terlalu menekankan formalisme dan positivisme ala Eropa Kontinental.

Sementara itu, Satjipto Rahardjo (2009) menegaskan bahwa hukum seharusnya bukan sekadar teks dan peraturan, melainkan alat untuk mencapai keadilan sosial. Hukum yang terlalu legalistik akan kehilangan jiwanya karena gagal menyerap nilai-nilai sosial dan moral masyarakat. Di sinilah letak pentingnya pembaruan hukum berbasis kearifan lokal — inovasi hukum modern harus tetap berpijak pada akar budaya bangsa.

Dengan demikian, pembaruan hukum tidak boleh hanya meniru model Barat. Ia harus tumbuh dari nilai-nilai sosial masyarakat sendiri. Tradisi bukan penghambat kemajuan, melainkan fondasi moral bagi inovasi yang berkeadilan.


---

Tradisi Hukum sebagai Sumber Etika dan Identitas Bangsa

Kearifan lokal berperan sebagai kompas moral dalam kehidupan hukum masyarakat. Dalam konsep living law yang dikemukakan Eugen Ehrlich (2019), hukum yang benar-benar hidup bukanlah yang tertulis di buku, melainkan yang mengatur perilaku nyata dalam kehidupan sosial. Di Indonesia, hukum adat adalah wujud paling nyata dari living law tersebut.

Menurut Kusumaatmadja (1976), hukum seharusnya menjadi alat pembaruan masyarakat yang dinamis (law as a tool of social engineering). Namun, pembaruan hukum tidak boleh memutus hubungan dengan akar sosialnya. Hukum yang efektif justru tumbuh dari nilai yang dihayati masyarakat, bukan hasil paksaan dari luar.

Nilai-nilai seperti musyawarah mufakat, gotong royong, dan rasa keadilan komunal menjadi sumber legitimasi sosial hukum (Baidhowi, 2024). Dengan demikian, hukum adat bukan sekadar warisan budaya, melainkan sumber inspirasi etik bagi desain hukum nasional.

Jika hukum nasional diabaikan dan kebijakan publik hanya meniru model asing, maka akan terjadi apa yang disebut Santos (2014) sebagai epistemicide—pemusnahan cara berpikir lokal. Karena itu, revitalisasi hukum adat merupakan bentuk dekolonisasi dalam pembangunan hukum nasional.
Tradisi hukum bukan nostalgia masa lalu, tetapi pondasi moral bagi hukum yang berkeadilan sosial.


---

Inovasi Hukum dalam Arus Modernisasi dan Globalisasi

Modernisasi hukum adalah keniscayaan. Dunia yang semakin terhubung oleh teknologi dan perdagangan global menuntut hukum yang responsif, efisien, dan adaptif.

Lawrence Friedman (1975) menjelaskan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga unsur: structure, substance, dan legal culture. Kegagalan pembaruan hukum sering terjadi karena reformasi hanya menyentuh struktur dan substansi, tetapi mengabaikan budaya hukum masyarakat.

Di Indonesia, reformasi hukum kerap terjebak pada pola legal transplant — mengadopsi sistem hukum asing tanpa menyesuaikan dengan konteks lokal. Pandangan ini sejalan dengan Teubner (1993) yang menegaskan bahwa hukum adalah sistem sosial otonom yang tidak dapat begitu saja diimpor.

Meski demikian, inovasi tetap diperlukan untuk menjawab tantangan baru seperti cyber law, environmental law, dan human rights law. Pertanyaannya bukan lagi apakah modernisasi perlu, melainkan bagaimana modernisasi dilakukan tanpa kehilangan jati diri hukum nasional.

Inovasi yang tidak berpijak pada realitas sosial hanya akan melahirkan hukum yang terasing dari rakyat (alienated law) — hukum yang bekerja untuk elite, bukan masyarakat (Puspitasari & Kusuma Putra, 2024). Karena itu, pembaruan hukum harus bersifat reflektif dan kontekstual, yakni mampu beradaptasi dengan nilai budaya lokal.


---

Kearifan Lokal sebagai Basis Rekonstruksi Paradigma Hukum Nasional

Kearifan lokal dapat menjadi sumber pengetahuan (epistemologis) bagi pembangunan paradigma hukum nasional. Dalam gagasan Epistemologies of the South, Santos (2014) menegaskan bahwa pengetahuan lokal bukanlah inferior, melainkan sumber alternatif untuk membangun teori dan praktik hukum yang kontekstual.

Contoh nyata dapat ditemukan dalam penerapan restorative justice, musyawarah desa, dan penyelesaian konflik komunal yang berakar pada adat. Konsep restorative justice yang kini diadopsi dalam hukum pidana Indonesia membuktikan relevansi nilai adat dengan zaman modern (Halawa, 2025).

Namun, pembaruan berbasis kearifan lokal memerlukan keberanian politik dan intelektual untuk menggeser orientasi hukum dari yang berbasis teks menjadi berbasis konteks. Mengutip Gustav Radbruch, hukum harus menjadi jembatan antara nilai dan kenyataan, bukan sekadar kumpulan aturan.

Sering kali, hukum berbasis lokal dianggap menghambat kemajuan karena dianggap tradisional. Padahal, modernitas tanpa lokalitas hanya melahirkan hukum yang kering dari makna sosial.
Hukum harus modern secara fungsi, tetapi lokal dalam nilai dan etika.


---

Merancang Jalan Tengah: Hukum yang Humanis, Adaptif, dan Kontekstual

Pembaruan hukum Indonesia idealnya mengarah pada sistem yang humanis, adaptif, dan kontekstual.
Menurut Nonet dan Selznick (2017), hukum modern harus berevolusi dari hukum yang represif menuju hukum yang responsif, yakni hukum yang mendengar suara rakyat, menghargai nilai lokal, dan terbuka terhadap inovasi.

Pembangunan hukum nasional perlu ditempuh melalui dua jalur:

1. Rekonstruksi nilai (cultural reconstruction) – menanamkan kembali nilai-nilai gotong royong, harmoni, dan solidaritas sosial dalam sistem hukum.


2. Inovasi kelembagaan (institutional innovation) – membangun lembaga hukum yang efisien dan akuntabel tanpa kehilangan akar moralnya (Hariyanto, 2018).



Tantangan terbesar bukan memilih antara tradisi atau inovasi, tetapi menjembatani keduanya secara seimbang.
Negara perlu membangun sistem hukum yang modern secara kelembagaan, tetapi berakar secara moral pada kearifan lokal.


---

Digitalisasi dan Masa Depan Hukum Berbasis Kearifan Lokal

Era digital membuka babak baru bagi hukum. Tantangannya: bagaimana kearifan lokal tetap hidup di tengah transformasi teknologi dan kecerdasan buatan (AI).

Susskind (2023) dalam Tomorrow’s Lawyers menyebut bahwa masa depan hukum ditentukan oleh kemampuan adaptasi terhadap digitalisasi dan big data. Namun, digitalisasi tidak boleh menghapus nilai-nilai lokal. Sebaliknya, teknologi dapat digunakan untuk revitalisasi hukum adat — misalnya melalui pengarsipan digital, peta wilayah adat interaktif, atau platform penyelesaian sengketa berbasis komunitas.

Bahaya terbesar dari digitalisasi adalah homogenisasi nilai, ketika algoritma menggantikan musyawarah dan data menghapus makna kultural (Erickson & Gregory, 2025). Karena itu, inovasi hukum digital harus berbasis pada etno-teknologi hukum (ethno-techno jurisprudence), yaitu penggunaan teknologi yang tetap menghormati nilai-nilai budaya lokal.

Masa depan hukum Indonesia terletak pada kemampuan mengintegrasikan kearifan lokal dengan teknologi digital. Hukum adat tidak boleh ditinggalkan oleh AI, tetapi justru harus menjadi bagian dari etika algoritmik hukum nasional.


---

Kesimpulan

Menjembatani tradisi dan inovasi bukan sekadar proyek akademik, melainkan agenda kebangsaan.
Hukum yang berakar pada nilai lokal adalah hukum yang memahami manusia Indonesia dengan spiritualitas, moralitas, dan solidaritasnya.

Pembaruan hukum berbasis kearifan lokal merupakan bentuk perlawanan terhadap kolonialisme epistemik dan dominasi hukum Barat. Ia adalah jalan menuju hukum yang berjiwa Nusantara — modern, tetapi tetap membumi.

Hukum Indonesia masa depan harus menjadi hukum yang hidup, adil, dan beradab — hukum yang tumbuh dari rakyat, bekerja untuk rakyat, dan kembali kepada rakyat.

DAFTAR REFERENSI
Agus Susanto, H. (2021). Perspektif Keadilan Hukum Teori Gustav Radbruch dalam Putusan PKPU PTB. JATISWARA, 36(3), 329. https://doi.org/https://doi.org/10.29303/jtsw.v36i3.341
Alanam, M. (2025). Teori Keadilan Perspektif Gustav Radbruch: Hubungan Moral Dan Hukum. Jurnal Humaniora : Jurnal Ilmu Sosial, Ekonomi dan Hukum, 9(1), 119–133. https://doi.org/10.30601/humaniora.v9i1.6393
Aulia, M. Z. (2018). Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo: Riwayat, Urgensi, dan Relevansi. Undang: Jurnal Hukum, 1(1), 159–185. https://doi.org/https://doi.org/10.22437/ujh.1.1.159-185
Baidhowi, N. R. (2024). Gotong Royong Sebagai Fondasi Moral Budaya: Perspektif Hukum Dan Keharmonisan Sosial. PROSIDING MIMBAR JUSTITIA Seminar Nasional Harmonisasi Hukum Administrasi Negara Dalam Konteks Pemerintahan Daerah dan Kearifan Lokal. Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur, 1(1), 55. https://jurnal.unsur.ac.id/pmj/article/view/4220/0?utm_source=chatgpt.com
Ehrlich, E. (2019). Fundamental Principles of the Sociology of Law. Routledge Taylor & Francis Group. https://api.pageplace.de/preview/DT0400.9781351518352_A30457246/preview-9781351518352_A30457246.pdf
Erickson, J., & Gregory, M. (2025). Against Algorithmic Clarity : Law Beyond Specification. International Journal for the Semiotics of Law - Revue internationale de Sémiotique juridique, September. https://doi.org/https://doi.org/10.1007/s11196-025-10379-5
Friedman, L. M. (1975). The Legal System: A Social Science Perspective. Russell Sage Foundation. https://doi.org/10.2307/2148447
Halawa, D. (2025). Hukum Adat sebagai Instrumen Restorative Justice dalam Penyelesaian Sengketa di Masyarakat sebagai Pembaharuan Hukum Nasional. Rio Law Jurnal, 6(2), 1738. https://doi.org/https://doi.org/10.36355/rlj.v6i2.1837
Hariyanto, H. (2018). Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila. Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum Dan Konstitusi, 1(1), 40. https://doi.o

TerPopuler