Presnews.my.id|Sampang – Menjelang musim tanam, krisis pupuk bersubsidi di Kabupaten Sampang kembali menguak wajah gelap tata kelola pertanian. Bukan sekadar kelangkaan, indikasi praktik permainan harga dan penyimpangan distribusi kian terang-terangan. Temuan lapangan, kesaksian petani, hingga data resmi memperlihatkan pola penyimpangan yang nyaris seragam: jatah pupuk “raib”, harga meroket, dan dugaan permainan di tingkat kios maupun kelompok tani kian menguat.
Di Kecamatan Omben, sejumlah petani dan ketua kelompok tani (Poktan) mengaku tidak pernah menerima jatah pupuk, meski nama dan luas lahan mereka tercantum jelas dalam sistem elektronik. Anehnya, mereka justru diberi alasan yang tak masuk akal—bahwa pupuk sudah diambil Poktan lain yang “lebih cepat datang ke kios”.
Padahal mekanisme distribusi pupuk bersubsidi tidak mengenal sistem rebutan, melainkan penyaluran wajib sesuai alokasi per petani yang telah diverifikasi.
“Data kami lengkap, tapi pupuk tidak pernah sampai. Bukan cuma kurang, kami sama sekali tidak dapat,” ungkap seorang ketua Poktan yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Dari penelusuran lapangan, dugaan penyimpangan kian mencolok. Harga pupuk di beberapa kios diduga melambung jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Bahkan ada tambahan biaya yang tidak jelas dasar hukumnya. Salah satu kios yang sering disebut petani, Kios Usaha Baru, diduga menjual pupuk hingga Rp110 ribu per sak, padahal harga resmi jauh di bawah itu.
“Sembilan puluh ditampat, seratus kalau nyampe tempat,” ujar pemilik kios saat ditemui, Kamis (20/11).
Namun anehnya, stok selalu habis ketika petani datang langsung, seolah pupuk lenyap tanpa jejak.
Lebih tajam lagi, seorang ketua Poktan di Omben menyebut pupuk subsidi bahkan diperdagangkan kembali hingga Rp140 ribu per sak—nyaris dua kali lipat dari ketentuan pemerintah. Jika benar, maka patut diduga ada kebocoran terstruktur dalam rantai distribusi pupuk bersubsidi di tingkat bawah.
Kekacauan ini semakin mencurigakan mengingat pemerintah baru saja menurunkan HET pupuk subsidi melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1117/Kpts/SR.310/M/10/2025, yang berlaku sejak 22 Oktober 2025. Harga baru seharusnya meringankan petani:
Urea: Rp1.800/kg
NPK: Rp1.840/kg
NPK Kakao: Rp2.640/kg
ZA: Rp1.360/kg
Organik: Rp640/kg
Namun di Omben, yang terjadi justru sebaliknya: harga melambung, stok menghilang, distribusi tak merata, dan petani dibiarkan berspekulasi di tengah krisis pupuk yang sangat menentukan hasil panen mereka. Ketiadaan sosialisasi dan lemahnya pengawasan dari penyuluh serta aparat terkait kian mempertebal dugaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Memasuki musim tanam, petani Sampang dipaksa berjudi dengan nasib—tanpa pupuk, tanpa kepastian, tanpa perlindungan dari negara yang seharusnya hadir membela mereka.
Sementara itu, pertanyaan besar terus menggantung: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari kekacauan pupuk bersubsidi di Sampang?
Sampai hari ini, tidak satu pun pihak berwenang berani memberikan jawaban.(Wir)
