Pangkalan Bun – OersNews. My. Id.
Kuasa hukum penggugat, Poltak Silitonga, mempertanyakan dasar Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Palangka Raya yang menolak gugatan kliennya dalam perkara sengketa tanah di Jalan Rambutan, Pangkalan Bun.
Menurutnya, putusan tersebut tidak menjelaskan secara rinci alasan hukum yang menjadi dasar penolakan.
“Saya heran apa dasar mereka menolak, tidak disebutkan di sini. Sehingga saya menganggap ini hanya putusan frustasi dan tidak ada dasar mereka mengatakan bahwa ini milik pemerintah daerah,” ujar Poltak Silitonga, Sabtu (18/10/2025).
Ia menilai keputusan tersebut menimbulkan kejanggalan dan menunjukkan masih perlunya refleksi dari para hakim.
"Hakim harus belajar merenungkan diri dan takut kepada Tuhan. Jangan takut kepada pemimpin walaupun dia gubernur, bupati, atau pejabat. Kalau salah ya tetap salah,” tegasnya.
Terkait pernyataan kuasa hukum dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Barat (Kobar) yang menyebut pihaknya sedang mengamankan aset daerah, Poltak menilai opini tersebut menyesatkan.
“Kepada Bupati Kobar supaya hati-hati dengan opini pengacara yang tidak memahami hukum. Dalam putusan itu tidak disebutkan tanah tersebut milik pemerintah,” katanya.
Menurut Poltak, tanah sengketa tersebut sejak awal dikuasai oleh ahli waris almarhum Brata Ruswanda. Ia menegaskan, tidak ada dasar hukum yang menyatakan tanah tersebut milik pemerintah daerah.
“Tidak boleh orang lain masuk ke tanah perkara itu, baik itu bupati maupun pejabat pemerintah. Dalam putusan juga tidak disebutkan tanah itu milik pemerintah,” lanjutnya.
Poltak juga mengingatkan aparat penegak hukum di Kobar agar tidak terpengaruh oleh pihak yang mencoba menggunakan kekuasaan untuk kepentingan tertentu.
“Jangan mau diarahkan oleh pejabat zalim yang tidak memahami hukum. Saya akan menjadi garda terdepan melawan kezaliman itu,” ujarnya.
Ia menuding ada praktik yang menyerupai “mafia tanah” dalam kasus tersebut.
“Masyarakat sudah tahu, yang menjadi mafia tanah itu adalah orang yang mengambil tanah milik orang lain dengan fotokopi SK Gubernur yang tidak pernah ada dan dikarang-karang,” ungkapnya.
Dalam pernyataannya, Poltak juga meminta perhatian pemerintah pusat.
"Saya berharap Bapak Presiden Prabowo memberikan perhatian serius terhadap kasus ini. Apalagi yang bersengketa adalah seorang ibu berusia 70 tahun yang hanya ingin mempertahankan hak miliknya,” kata dia.
Lebih lanjut, ia menyinggung adanya dugaan intervensi terhadap proses hukum di tingkat pengadilan negeri.
“Saya mendengar informasi bahwa pemerintah daerah pernah memanggil hakim-hakimnya, meskipun saya tidak ingin menyebutkan namanya. Namun, ini informasi yang bisa dipercaya,” ucapnya.
Poltak menilai, hakim-hakim di PT Palangka Raya tidak mendalami fakta persidangan secara utuh dan hanya membaca berkas.
“Mereka menyebut perkara ini nebis in idem, padahal objek gugatannya berbeda. Bukti dan saksi boleh sama, tetapi objeknya jelas tidak sama,” katanya.
Ia juga menyebut dalam putusan sebelumnya di tingkat kasasi Mahkamah Agung tidak pernah dinyatakan bahwa tanah tersebut milik Pemerintah Kabupaten Kobar.
“Putusan terdahulu hanya menolak gugatan, bukan menetapkan tanah itu milik pemerintah,” ujarnya menegaskan.
Sebagai langkah lanjutan, Poltak menyatakan akan menempuh upaya kasasi kedua dan melaporkan majelis hakim yang menangani perkara ini ke pengawas Mahkamah Agung serta Komisi Yudisial.
“Kami akan laporkan karena ini sudah masuk kategori penyelundupan hukum. Pertimbangan dalam putusan tidak sesuai dengan fakta, dan hal ini berbahaya bagi masyarakat yang tidak paham hukum,” tegasnya.
Poltak menegaskan, pihaknya akan terus memperjuangkan hak ahli waris Brata Ruswanda hingga tuntas. Ia berharap lembaga peradilan lebih berhati-hati dalam memutus perkara agar tidak menimbulkan preseden buruk bagi penegakan hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap peradilan di Indonesia. (*hn)