Presnews.my.id|Pamekasan – Skandal peredaran rokok ilegal di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur, kini tak lagi layak dipandang sebagai persoalan daerah. Ini adalah alarm keras bagi negara. Rokok tanpa pita cukai resmi beredar bebas, diproduksi secara masif, dan dipasarkan terang-terangan, sementara aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan justru tak terlihat batang hidungnya, Rabu 24-12-2025.
Investigasi lapangan mengungkap dugaan kuat adanya pabrik rokok ilegal aktif yang beroperasi di Desa Tampojung Pregih, Kecamatan Waru, Pamekasan. Pabrik ini diduga memproduksi rokok merek Flash jenis mild isi 20 batang dengan kemasan putih-biru. Namun hingga kini, legalitas merek, izin produksi, serta keabsahan pita cukai tidak pernah bisa ditunjukkan ke publik.
Aktivitas ini jelas bukan pekerjaan sambilan. Produksi dilakukan secara rutin, menggunakan mesin, melibatkan tenaga kerja terstruktur, serta sistem distribusi yang rapi. Fakta ini mengindikasikan satu hal serius: kejahatan fiskal terorganisir. Setiap batang rokok ilegal yang beredar merupakan kerugian langsung bagi APBN, uang negara yang seharusnya kembali kepada rakyat, namun justru mengalir ke kantong gelap mafia rokok.
Yang membuat persoalan ini kian mengerikan, aktivitas tersebut disebut telah berjalan bertahun-tahun tanpa sentuhan hukum. Fakta ini memunculkan pertanyaan tajam yang kini menggema hingga tingkat nasional:
di mana Bea Cukai? di mana Satpol PP? dan di mana negara?
Pembiaran berkepanjangan ini membuka dugaan adanya kegagalan pengawasan struktural, bahkan tak tertutup kemungkinan adanya pembiaran sistemik terhadap praktik ilegal yang secara terang-terangan melanggar Undang-Undang Cukai.
Ironi kian telanjang ketika Pemerintah Kabupaten Pamekasan menggembar-gemborkan slogan “Gempur Rokok Ilegal”. Kampanye digelar, baliho dipasang, sosialisasi digaungkan. Namun di lapangan, pabrik rokok tanpa identitas resmi justru berdiri kokoh dan beroperasi tanpa gangguan. Slogan nasional runtuh di hadapan fakta lapangan.
Saat awak media melakukan konfirmasi kepada Humas Bea Cukai Madura, Andaru, terkait dugaan pabrik rokok ilegal tersebut, jawaban yang diberikan justru singkat dan mengejutkan.
“Belum ada di database, mas,” ujarnya melalui pesan singkat(23/12).
Pernyataan ini bukan meredakan persoalan, melainkan justru membuka lubang besar dalam sistem pengawasan cukai negara. Bagaimana mungkin sebuah aktivitas produksi rokok yang diduga berjalan bertahun-tahun, melibatkan mesin, tenaga kerja, dan distribusi luas, tidak tercatat sama sekali dalam database Bea Cukai?
Jawaban tersebut memunculkan dua kemungkinan yang sama-sama mengkhawatirkan:
pertama, pengawasan Bea Cukai lumpuh total di lapangan; atau kedua, pabrik rokok ilegal ini memang tak pernah diawasi sejak awal. Dalam dua skenario tersebut, negara tetap berada pada posisi kalah.
Lebih jauh, pernyataan “belum ada di database” justru mempertegas bahwa pabrik rokok tersebut patut diduga ilegal, sebab industri hasil tembakau yang sah wajib terdaftar, terverifikasi, dan berada di bawah pengawasan ketat Bea Cukai. Jika tidak tercatat, maka aktivitas produksi dan peredarannya secara hukum layak ditindak, bukan didiamkan.
Ironisnya, pernyataan tersebut tidak disertai langkah penelusuran lanjutan atau penindakan awal, sehingga terkesan sebagai bentuk cuci tangan institusional di tengah maraknya peredaran rokok ilegal yang nyata dan kasat mata.
Kondisi ini tak bisa lagi diperlakukan sebagai urusan lokal. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI, aparat penegak hukum pusat, hingga pengawas internal negara wajib turun tangan langsung. Negara tidak boleh kalah oleh mafia rokok yang menggerogoti keuangan negara dari pinggiran desa.
Jika praktik ini terus dibiarkan, maka publik berhak menarik satu kesimpulan pahit:
yang kalah bukan hanya hukum, tetapi juga wibawa negara di hadapan kejahatan fiskal terorganisir.
