Opini Oleh :
Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL
(Direktur LKBH Makassar
Advokat dan Konsultan Hukum 085340100081)
Pembangunan Strategis Nasional (PSN) sejatinya lahir dengan wajah suci: mengatasnamakan kepentingan rakyat, membuka jalan, membangun bendungan, memperluas infrastruktur, dan menyambung denyut nadi ekonomi bangsa. Namun, di balik selubung jargon pembangunan, wajah lain yang muram perlahan menyingkap: PSN kerap bertransformasi menjadi alat penindasan, modus operandi mafia tanah yang dilegalkan oleh tangan negara sendiri.
Apa yang disebut “kepentingan umum” sering kali hanyalah mantra manis untuk menutupi aroma busuk kepentingan oligarki. Lahan rakyat—sawah, kebun, tanah ulayat, bahkan ruang hidup yang diwariskan turun-temurun—digusur dengan bendera PSN. Di atas kertas, mekanisme musyawarah, ganti rugi layak, serta keadilan prosedural dikumandangkan. Namun di lapangan, rakyat kerap hanya menyaksikan tanahnya berpindah ke tangan korporasi dengan dalih “konsinyasi” atau pemaksaan administratif.
AMDAL yang semestinya menjadi benteng ekologis berubah menjadi formalitas belaka. Lebih parah, dengan UU Cipta Kerja, AMDAL dipangkas menjadi sekadar “persetujuan lingkungan” yang manipulatif dan dangkal. Maka, lingkungan bukan lagi subjek yang harus dijaga, melainkan objek yang boleh dikorbankan. Padahal, Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ironi pun lahir: konstitusi dijunjung di podium, namun diinjak di lapangan.
Catatan Hukum
1. Onrechtmatige Overheidsdaad → perbuatan melawan hukum oleh pemerintah (Pasal 1365 KUHPerdata) muncul jelas ketika negara mengubah hukum demi menguntungkan korporasi, sekaligus merugikan rakyat dan merusak lingkungan.
2. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan AMDAL yang sahih sebagai syarat utama izin lingkungan. Dengan UU Cipta Kerja yang memangkas fungsi AMDAL, terjadi benturan langsung dengan semangat perlindungan konstitusional.
3. Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU Cipta Kerja “inkonstitusional bersyarat”, menegaskan cacat formil dan materilnya. Namun pemerintah tetap memaksakan PSN dengan dalih kepentingan nasional.
4. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bumi, air, dan kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jika faktanya tanah dan SDA justru dikuasai oligarki, maka jelas terjadi pengkhianatan konstitusi.
Contoh Kasus Konkret
Rempang, Batam → Proyek Rempang Eco-City (PSN) berujung pada bentrok aparat dengan masyarakat adat Melayu Rempang. Warga dipaksa angkat kaki dari tanah leluhur demi investasi asing.
Wadas, Jawa Tengah → Rakyat desa Wadas menghadapi intimidasi aparat ketika menolak penambangan batu andesit untuk PSN Bendungan Bener. AMDAL dituding penuh manipulasi, sementara suara warga diabaikan.
IKN, Kalimantan Timur → Pembangunan Ibu Kota Nusantara mengancam ekosistem hutan tropis dan memicu konflik agraria dengan masyarakat adat. Narasi “pembangunan hijau” berubah menjadi legitimasi perampasan ruang hidup.
Modus operandi mafia tanah melalui PSN ini bekerja rapi. Negara tampil sebagai broker: membuka ruang hukum, mengubah peraturan, hingga mengikis perlindungan rakyat. Korporasi dan oligarki menari di panggung keuntungan, sementara petani, nelayan, dan masyarakat adat menjadi korban yang terusir dari tanah leluhurnya. Inilah wajah onrechtmatige overheidsdaad—perbuatan melawan hukum oleh pemerintah sendiri.
Bila hukum dibiarkan hanya menjadi stempel kekuasaan, maka PSN bukan lagi pembangunan, melainkan perampokan berjubah legalitas. Rakyat kehilangan tanah, lingkungan kehilangan daya hidup, dan negara kehilangan legitimasinya sebagai pelindung.
Pertanyaan yang menggema kini bukan lagi sekadar “apa itu PSN?”, melainkan: apakah PSN telah menjelma menjadi modus kejahatan lingkungan dan agraria, yang dilakukan secara sistematis oleh oknum pemerintah bersama oligarki dan korporasi?
Jika jawabannya ya, maka sejarah kelak akan menuliskan catatan hitam: bahwa di era pembangunan besar-besaran, rakyat justru dikorbankan atas nama pembangunan. Dan keadilan menunggu di persimpangan, menuntut bukan hanya pemulihan, tetapi juga pertanggungjawaban pidana, perdata, dan moral atas luka yang dibiarkan menganga.
Alternatif Solusi Hukum
Class Action (Gugatan Kelompok)
Rakyat korban penggusuran, perampasan tanah, atau pencemaran lingkungan akibat proyek PSN dapat mengajukan gugatan bersama.
Dasar: Pasal 91 UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menggugat pelaku pencemaran/pengrusakan lingkungan.
Citizen Lawsuit (Gugatan Warga Negara)
Warga negara bisa menuntut negara karena lalai memenuhi kewajiban konstitusional dalam melindungi hak atas lingkungan hidup sehat.
Praktik ini pernah berhasil, misalnya dalam Gugatan Warga Negara (Citizens Lawsuit) Polusi Udara Jakarta yang menguatkan tanggung jawab Presiden dan pejabat terkait.
Gugatan Perdata PMH (Perbuatan Melawan Hukum)
Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, pemerintah dapat digugat jika tindakannya menimbulkan kerugian bagi rakyat.
PSN yang memaksa penggusuran tanpa ganti rugi layak atau merusak lingkungan dapat dikualifikasi sebagai PMH.
Pidana Lingkungan
UU No. 32/2009 membuka jalur pidana bagi pejabat dan korporasi yang dengan sengaja melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan.
Dalam doktrin hukum pidana lingkungan, pejabat yang mengeluarkan izin menyimpang bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana pribadi (personal liability).
Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi
UU Cipta Kerja dan regulasi turunannya bisa terus diuji materi karena bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28H (lingkungan hidup sehat) dan Pasal 33 (penguasaan SDA oleh negara untuk kemakmuran rakyat).
Jalur ini penting untuk mengembalikan kewibawaan konstitusi.
Pengaduan Internasional
Bila mekanisme nasional buntu, rakyat dan masyarakat sipil dapat membawa kasus ke lembaga internasional, seperti Komite HAM PBB atau Special Rapporteur on Human Rights and Environment, untuk menekan negara menjalankan kewajibannya.
Modus operandi mafia tanah melalui PSN adalah cermin bagaimana hukum bisa dikooptasi untuk melayani oligarki. Namun, hukum juga memberi celah bagi rakyat untuk melawan. Dari class action, citizen lawsuit, gugatan PMH, pidana lingkungan, judicial review, hingga pengaduan internasional, semuanya dapat menjadi senjata rakyat menuntut keadilan.
Sebab, sejarah hanya akan berpihak pada mereka yang berani melawan ketidakadilan. Dan dalam konteks PSN, perlawanan hukum rakyat bukanlah sekadar gugatan, tetapi ikhtiar untuk menyelamatkan tanah, lingkungan, dan masa depan bangsa.