Istilah “Ngopi”, yang dipopulerkan oleh Asep Japar dalam konteks pembangunan Sukabumi, telah berkembang lebih dari sekadar menikmati secangkir kopi. Ia telah menjadi simbol komunikasi, pemikiran strategis, serta ajakan untuk bertindak nyata demi perubahan yang lebih baik. Dari perspektif sosial hingga manajemen pembangunan holistik, istilah ini memiliki makna yang mendalam.
Perspektif Filsafat: “Ngopi” Sebagai Dialog Socratic
Filsafat selalu menekankan pentingnya dialog sebagai alat utama dalam mencari kebijaksanaan. Dalam sejarahnya, filsuf Socrates menggunakan metode tanya jawab untuk membimbing murid-muridnya mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia dan kehidupan. Dalam konteks Sukabumi, istilah “ngopi” yang digunakan oleh Asep Japar mengandung ajakan untuk merenung, berdiskusi, serta mencari solusi Bersama lalu bertindak nyata.
Dari sudut pandang eksistensialisme, “ngopi” bisa dimaknai sebagai bentuk kesadaran kolektif bahwa perubahan tidak bisa hanya terjadi dari individu, melainkan butuh partisipasi seluruh elemen masyarakat dan pemerintahan. Ngopi bukan hanya sekadar aktivitas sosial, tetapi juga sarana bagi masyarakat untuk ikut serta dalam diskusi pembangunan daerah dan mengambil bagian dalam kemajuan Sukabumi.
Perspektif Semiotika: “Ngopi” Sebagai Simbol dan Tanda
Dari sudut pandang semiotika, istilah “ngopi” yang digunakan Asep Japar bukan hanya sekadar kata atau kebiasaan minum kopi, tetapi telah berkembang menjadi simbol komunikasi strategis yang membawa pesan lebih dalam. Ferdinand de Saussure, tokoh semiotika, menjelaskan bahwa tanda atau simbol memiliki dua unsur utama: penanda (bentuk atau kata yang digunakan) dan petanda (makna yang dikandungnya).
Dalam konteks ini:
Penanda: Kata “Ngopi”
Petanda: Sebuah ajakan untuk berdiskusi, bertukar pikiran, dan mencari solusi bagi pembangunan Sukabumi serta bertinda dan bekerja nyata.
Ketika Asep Japar menggunakan istilah ini dalam kampanye pembangunan daerah, ia mengajak masyarakat untuk melihat ngopi bukan sekadar aktivitas santai, tetapi sebuah momentum strategis untuk membahas dan memikirkan langkah terbaik bagi kemajuan Sukabumi. Video ajakan “ngopi” yang viral di masyarakat juga menunjukkan bagaimana simbol ini merepresentasikan dedikasi, kerja keras, dan semangat kebersamaan, istilah Ngopi ini awal dirinya menjabat sebagai Kepala Dinas PU Sukabumi.
Perspektif Psikologi Sosial: Membangun Emosi Kolektif dan Rasa Kepemilikan
Dalam psikologi sosial, istilah “ngopi” menggambarkan bagaimana sebuah jargon dapat membentuk emosi kolektif dan sense of belonging dalam suatu kelompok masyarakat. Ketika “ngopi” digunakan sebagai bagian dari komunikasi kerja dan pembangunan daerah, istilah ini mampu:
Memotivasi masyarakat untuk lebih aktif berkontribusi.
Membangun solidaritas antara pemimpin daerah dan rakyat.
Menyebarkan optimisme dan semangat pantang menyerah dalam menghadapi tantangan pembangunan.
Dalam psikologi, terdapat konsep emotional contagion, di mana perasaan atau semangat yang kuat dari satu individu dapat menular kepada individu lain dalam kelompok. Ketika Asep Japar dan kemudian Gubernur Jawa Barat Kang Dedy Mulyadi menggunakan istilah “ngopi” dalam konteks pembangunan Sukabumi, mereka secara tidak langsung menanamkan rasa keyakinan dan optimisme kepada masyarakat bahwa mereka berjuang bersama. Kata-kata memiliki kekuatan, dan “ngopi” menjadi pemicu psikologis yang memotivasi orang untuk tetap semangat menghadapi tantangan.
Perspektif Kolaborasi untuk Masa Depan Sukabumi
Dalam manajemen pembangunan holistik, pembangunan tidak hanya dilihat dari aspek infrastruktur dan ekonomi, tetapi juga dari aspek sosial, budaya, dan partisipasi masyarakat. Dalam konteks Sukabumi, “ngopi” menjadi strategi komunikasi yang mempersatukan berbagai elemen pemerintahan dan masyarakat dalam upaya membangun daerah.
Seiring dengan perubahan kepemimpinan, istilah “ngopi” mulai diadopsi lebih luas, termasuk oleh Gubernur Jawa Barat Kang Dedy Mulyadi. Ketika Dedy Mulyadi menyatakan bahwa anggaran Sukabumi masih minim dan memerlukan kerja sama dengan provinsi, ia memperkenalkan istilah “ngopi sama Gubernur Jabar” kira-kira begitu kalau digambarkan dalam kata-kata, ini sebagai bentuk kolaborasi dan diskusi strategis lintas daerah, mungkin itu maknanya yang tersirat darai candaan KDM “Kemudian juga ada Bupati Sukabumi, ini wajahnya itu kelihatan lesu, duit eweuh, jalan butut, teu bisa anggeus ku ngopi kudu neangan duit,” ujar Dedi Mulyadi di tengah sebuah kegiatan.
Dalam manajemen pembangunan, beberapa langkah yang bisa diambil dengan pendekatan “ngopi” antara pemerintah daerah dan masyarakat adalah:
Diskusi dan perencanaan strategis tentang infrastruktur dan ekonomi Sukabumi.
Partisipasi aktif masyarakat dalam menyampaikan ide dan kritik membangun.
Kolaborasi lintas pemerintahan untuk memaksimalkan anggaran pembangunan.
Membangun kepemimpinan yang inklusif dengan pendekatan komunikasi yang lebih dekat dan santai.
Melalui pendekatan ini, pembangunan menjadi lebih partisipatif, bukan hanya berjalan dari atas ke bawah (top-down) tetapi juga dari bawah ke atas (bottom-up), sehingga kebijakan yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Bagi Mata Sosial, Istilah “ngopi” bukan hanya sekadar ajakan untuk minum kopi, tetapi telah mengalami evolusi makna menjadi simbol semangat kerja, komunikasi efektif, serta dedikasi terhadap pembangunan daerah. Asep Japar dan Kang Dedy Mulyadi memahami bahwa pembangunan daerah tidak bisa dilakukan sendirian—ia memerlukan dukungan masyarakat, strategi, serta pemikiran kolektif yang matang.
Dari perspektif filsafat, semiotika, psikologi sosial, dan manajemen pembangunan, “ngopi” merupakan representasi dari dialog, simbol komunikasi, motivasi psikologis, serta strategi kolaborasi pemerintahan dan masyarakat. Dengan demikian, “ngopi” bukan hanya sekadar aktivitas santai, tetapi juga menjadi pemicu perubahan sosial dan pembangunan daerah secara holistik. Bagi Mata Sosial istilah Ngopinya Asep Japar Andreas dan KDM satu Aroma dalam Kemajuan.
Ruslan Raya Mata Sosial
Cikakak Sukabumi, Jum’at 23 Mei 2025.