Gayo Lues: Koran merah putih new.com:22/12/2025: 1:44 wib.
Empat proyek peningkatan dan rehabilitasi jalan di Kabupaten Gayo Lues yang dibiayai melalui Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) dan Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit Tahun Anggaran 2025 hingga pertengahan Desember belum menunjukkan progres sama sekali. Kondisi ini terjadi meskipun kontrak pekerjaan telah ditandatangani sejak Oktober 2025 dan uang muka sebesar 30 persen telah dicairkan kepada rekanan.
Sorotan publik kini mengarah pada kinerja Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) serta Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Gayo Lues yang dinilai lalai menjalankan fungsi pengawasan. Fakta ini mencuat pada Senin (15/12/2025).
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021, penyedia wajib melaksanakan pekerjaan sesuai kontrak, jadwal, dan spesifikasi teknis. Kegagalan melaksanakan kewajiban tersebut dapat dikenakan sanksi administratif, pencairan jaminan pelaksanaan, hingga pemutusan kontrak.
Ketentuan kontrak juga mewajibkan penyedia melakukan mobilisasi paling lambat 14 hari kalender setelah Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) diterbitkan. Apabila deviasi progres melebihi minus 10 persen, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) wajib menyelenggarakan Show Cause Meeting (SCM) sebagai bentuk pengendalian kontrak.
Namun hingga pertengahan Desember, keempat proyek tersebut masih berada pada angka nol persen. Tidak terlihat adanya alat berat, tenaga kerja, maupun material di lokasi pekerjaan, meskipun kontrak telah berjalan lebih dari dua bulan.
Seorang sumber teknis menyebut kondisi ini bertentangan dengan prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Perpres 16 Tahun 2018.
“Jika dokumen penawaran dan data peralatan benar-benar valid, pekerjaan dengan volume kecil seharusnya dapat selesai dalam waktu sekitar 30 hari kerja. Fakta bahwa tidak ada aktivitas sama sekali menimbulkan dugaan adanya persoalan serius sejak tahap tender,” ujarnya.
Potensi Pelanggaran Administratif
Apabila terbukti tidak melaksanakan kewajiban kontrak, para pihak yang terlibat berpotensi melanggar ketentuan administratif, antara lain:
Pasal 78 Perpres 16 Tahun 2018, terkait sanksi administratif kepada penyedia berupa peringatan tertulis, pencairan jaminan, pemutusan kontrak, dan daftar hitam (blacklist);
Kelalaian PPK dan PA/KPA dalam pengendalian kontrak, termasuk tidak dilaksanakannya SCM sesuai ketentuan;
Tanggung jawab Pokja ULP apabila terbukti lalai memverifikasi kualifikasi, peralatan, dan kemampuan teknis penyedia saat proses pemilihan.
Potensi Tindak Pidana (Jika Terbukti)
Selain sanksi administratif, sejumlah pihak menilai kasus ini berpotensi mengarah pada aspek pidana, apabila dalam proses penyelidikan ditemukan unsur perbuatan melawan hukum, antara lain:
Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, jika pencairan uang muka dilakukan tanpa dasar kemampuan riil penyedia dan mengakibatkan potensi kerugian keuangan negara/daerah;
Pasal 263 KUHP terkait dugaan penggunaan dokumen palsu atau keterangan tidak benar dalam dokumen tender, apabila terbukti adanya rekayasa data peralatan atau kualifikasi;
Pasal 55 KUHP, jika terdapat keterlibatan bersama antara penyedia dan pihak internal pengadaan.
Empat proyek yang hingga kini belum menunjukkan progres tersebut adalah:
1. PT Sari Bumi Prima – Rehabilitasi Jalan Sp. MAN–Pesantren Salahuddin (DOKA) Rp970.634.426
2. PT Sari Bumi Prima – Rekonstruksi Jalan Blower–Pesantren Salahuddin (DBH Sawit) Rp1.724.625.131
3. PT Nusantara Utama Konstruksi – Rehabilitasi Jalan Penampaan–Blangtemung (DOKA) Rp1.829.964.443
4. CV Milan – Rehabilitasi Jalan Telkom–Melati (DOKA) Rp480.371.604
Kontrak proyek diketahui ditandatangani sekitar dua bulan sebelum terjadinya bencana alam di wilayah Gayo Lues. Dengan demikian, keterlambatan pekerjaan tidak dapat dikategorikan sebagai force majeure.
Hingga berita ini diturunkan, Dinas PUPR Kabupaten Gayo Lues belum memberikan pernyataan resmi. Masyarakat mendesak Aparat Penegak Hukum (APH), termasuk Polda Aceh, Kejaksaan Tinggi Aceh, dan BPK, untuk melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap pencairan uang muka, keabsahan dokumen tender, pelaksanaan pengawasan, serta potensi kerugian keuangan daerah.
Publik menilai penegakan hukum yang transparan menjadi penting agar kasus ini tidak menjadi preseden buruk dalam pengelolaan proyek pemerintah. Apakah ini kelalaian administratif semata atau indikasi pelanggaran serius, hasil penyelidikan APH diharapkan mampu menjawabnya. ( TIM )
