Kenapa Daerah Tambang di Indonesia Rakyatnya Miskin? Waspadalah Jika Daerahmu Dijadikan Area Tambang

Kenapa Daerah Tambang di Indonesia Rakyatnya Miskin? Waspadalah Jika Daerahmu Dijadikan Area Tambang

Selasa, 07 Oktober 2025, Oktober 07, 2025

 



Opini Oleh: 

Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL

Direktur LKBH Makassar 

Advokat dan Konsultan Hukum

Ketua API - Advokat Pengadaan Indonesia 

085340100081




Di negeri ini, suara mesin tambang sering lebih nyaring daripada doa rakyatnya.

Dari Kalimantan hingga Sulawesi, dari Papua hingga Nusa Tenggara, tanah dibelah, gunung diratakan, sungai dibendung, dan hutan dilucuti dengan dalih pembangunan. Namun setelah truk-truk raksasa berlalu, yang tersisa hanyalah debu, genangan air asam, dan warga yang kembali miskin di atas tanah yang dulunya subur.


Ironi itu begitu terang: Indonesia disebut kaya sumber daya alam, tapi daerah tambangnya justru termasuk yang termiskin. Data BPS dan INDEF (2023) menunjukkan, lebih dari 70% kabupaten penghasil tambang memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional.

Kabupaten Mimika, yang menampung salah satu tambang emas terbesar dunia, memiliki kemiskinan di atas 25%.

Sementara keuntungan perusahaan menembus miliaran dolar setiap tahun.


Lalu, di mana makna “kemakmuran rakyat” yang dijanjikan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 itu?



Negara Kaya, Rakyat Papa. Konstitusi sejatinya mengandung janji agung:

 “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”




Tapi pasal yang luhur itu kini berubah tafsir:

“dikuasai oleh negara” seolah berarti “dipersewakan kepada korporasi.”


Dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Minerba, izin tambang bisa diperpanjang puluhan tahun tanpa lelang. Korporasi menanam cakar lebih dalam, sementara rakyat kehilangan hak atas tanah, air, dan udara bersih. Mereka yang menolak tambang malah dicap anti-pembangunan, bahkan dikriminalisasi dengan tuduhan mengganggu investasi.


Di berbagai daerah—Mulawarman, Morowali, Mandiodo, Sorowako, hingga Blok Wabu—cerita rakyatnya serupa:

tanah diambil, rumah dipindahkan, air mengering, janji kerja tak ditepati.

Sementara aparat negara, yang seharusnya melindungi, justru hadir menjaga pagar perusahaan.




Kutukan atau Kejahatan Politik? Para ekonom menyebut fenomena ini resource curse—kutukan sumber daya alam. Negara kaya mineral, tapi rakyat miskin karena kekuasaan ekonomi tersedot ke atas. Namun di Indonesia, kutukan ini bukan nasib, melainkan hasil kebijakan. Ia lahir dari politik rente, kolusi izin, dan oligarki yang bersemayam di balik bendera pembangunan.


KPK (2022) mencatat lebih dari 2.400 izin tambang bermasalah, tumpang tindih dengan hutan dan permukiman warga.

Sebagian besar tak memenuhi kewajiban reklamasi dan pascatambang. Ketika tambang ditinggalkan, bumi berubah menjadi kolam racun; sawah tak bisa ditanami, ikan mati, dan anak-anak kehilangan sumber air bersih.


Sosiolog George Ritzer menulis,

“Kapitalisme modern menelan nilai-nilai kemanusiaan, menggantinya dengan efisiensi dan akumulasi.”




Itulah yang terjadi di negeri tambang ini:

nilai digantikan laba, kemanusiaan dikalahkan modal. Hukum yang Mandul, Lingkungan yang Terluka. Padahal hukum sudah memberi tameng. Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan:


“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”




Namun, fakta di lapangan berbalik. Aktivis lingkungan dijerat pasal pidana, warga yang menolak tambang dipukul mundur, dan aparat digunakan untuk membungkam protes. Prinsip internasional Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sebagaimana diatur dalam UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (2007), yang seharusnya menjamin persetujuan masyarakat adat sebelum proyek tambang dijalankan, sering diabaikan. Negara seolah tuli terhadap jerit rakyatnya sendiri.




CSR Tak Menetes ke Dapur Rakyat. Korporasi tambang kerap memamerkan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bukti kepedulian. Tapi di kampung tambang, yang menetes bukan kesejahteraan, melainkan air kotor dan janji kosong. Sekolah rusak, jalan berlubang, dan harga pangan melambung karena lahan pangan berubah jadi lubang tambang. CSR hanyalah kosmetik di atas wajah yang luka.


Teori trickle-down effect tak pernah terbukti. Yang mengalir ke rakyat hanyalah lumpur, bukan laba. Negara lupa, bahwa kesejahteraan tak bisa diimpor dari laporan tahunan, melainkan harus ditanam di tanah rakyat yang hidup dengan layak.



Keadilan Ekologis: Jalan Pulang dari Ketamakan. Kita butuh keberanian untuk menolak paradigma lama: bahwa tambang pasti makmur, bahwa investasi pasti menyejahterakan. Kita harus menuntut keadilan ekologis, keadilan yang berpihak pada manusia, alam, dan masa depan.


Negara wajib menegakkan konstitusi, memastikan bahwa setiap izin tambang benar-benar memberi manfaat sosial dan lingkungan. Penegak hukum harus berdiri di sisi rakyat, bukan di bawah bendera perusahaan. Dan masyarakat harus sadar: jika daerahmu dijadikan area tambang, waspadalah! karena yang digali bukan hanya tanahmu, tapi juga masa depanmu.




 “Kekayaan alam kita melimpah, tapi rakyatnya miskin. Itu bukan kutukan, itu kejahatan politik.” W.S. Rendra


Apakah Kampung Baru Desa Mangkupadi Kecamatan Tanjung Palas Timur Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Utara akan terjadi juga? Ataukah kita bersama-sama melawan menolak segala bentuk pemiskinan dan perampokan tanah rakyat? Jawabannya Lawan!!!

TerPopuler