Opini Oleh:
Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL
Direktur LKBH Makassar
Advokat dan Konsultan Hukum
Ketua API - Advokat Pengadaan Indonesia
085340100081
Di setiap jengkal tanah yang diserobot atas nama pembangunan, rakyat bertanya dengan getir: untuk siapa hukum ditegakkan?
Mereka yang hidup di pinggir tambang, di tepi laut reklamasi, atau di sawah yang kini jadi kawasan industri, menyaksikan bagaimana “pembangunan nasional” berubah menjadi tragedi sosial.
Ditengah pusaran itu, DPRD—lembaga yang sejatinya lahir dari rahim rakyat—sering kali berdiri bukan di sisi penderitaan, tetapi di barisan pemodal.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bukan sekadar penonton politik; ia memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Namun, ketika perampasan tanah rakyat terjadi melalui izin lokasi, perubahan tata ruang, atau manipulasi data aset daerah, DPRD sering bungkam.
Sebagian bahkan terlibat dalam “politik izin”—mengesahkan rencana tata ruang yang berpihak pada korporasi, bukan pada petani atau nelayan.
Padahal dalam prinsip demokrasi lokal, DPRD adalah benteng rakyat dari arogansi kekuasaan eksekutif dan kapital.
Mereka memiliki kewajiban hukum dan moral untuk mengawasi agar kebijakan daerah tidak bertentangan dengan hak asasi manusia dan konstitusi.
Ketika saluran formal tertutup, rakyat mencari bahasa lain:
rapat warga, spanduk protes, aksi damai di kantor bupati, petisi ke DPRD—itulah agitasi perlawanan rakyat.
Ia bukan bentuk anarki, melainkan ekspresi politik rakyat yang dijamin oleh hukum. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menegaskan:
“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.” Pasal ini adalah anti-SLAPP clause—tameng hukum bagi rakyat yang melawan perusahaan perusak lingkungan.
Agitasi rakyat dengan demikian adalah bentuk perlawanan sah terhadap kekuasaan yang menyimpang. Ia adalah pendidikan politik dari bawah, tempat rakyat belajar bahwa hukum tidak boleh hanya dimonopoli oleh elite.
Franz Magnis-Suseno dalam Etika Politik (1999) menulis:
“Ketika negara kehilangan keadilan, rakyat memiliki kewajiban moral untuk melawan.” Artinya, perlawanan rakyat terhadap kebijakan yang menindas bukanlah pelanggaran hukum, tetapi tindakan etis.
begitupun Satjipto Rahardjo (2003) dalam Hukum Progresif menegaskan bahwa hukum harus berpihak pada manusia dan keadilan sosial, bukan pada kekuasaan dan formalisme.
Apalagi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013 tentang uji materi UU No. 18/2004 (Perkebunan):
MK menyatakan bahwa kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan tanahnya bertentangan dengan konstitusi.
Ini menjadi yurisprudensi penting bahwa perlawanan rakyat terhadap perampasan tanah adalah bagian dari hak konstitusional.
Dikuatkan pula dengan Putusan MA No. 1555 K/Pid/2011 juga menegaskan bahwa warga yang menolak tambang di wilayah adatnya tidak dapat dipidana karena memperjuangkan hak lingkungan.
Hukum internasional pun berdiri di sisi rakyat. Beberapa instrumen penting, diantaranya United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas (UNDROP, 2018), Pasal 5 menjamin hak petani atas kebebasan berserikat dan berpartisipasi dalam kebijakan publik. Pasal 17 menjamin hak atas tanah dan sumber daya alam, termasuk perlindungan dari pengusiran paksa.
begitupun dengan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), menegaskan dalam Pasal 11 bahwa setiap orang berhak atas kehidupan yang layak, termasuk pangan dan tempat tinggal yang aman—yang mustahil terwujud bila tanah dirampas.
Dikuatkan pula dengan UN Basic Principles on the Role of Lawyers (1990) juga menegaskan perlindungan bagi para advokat dan paralegal rakyat yang membantu komunitas memperjuangkan hak atas tanah.
Dengan demikian, perjuangan rakyat di desa-desa dan pesisir Indonesia bukan tindakan ilegal, melainkan bagian dari hak asasi manusia yang diakui dunia.
Kini bola tanggung jawab ada di tangan DPRD. Mereka bisa memilih menjadi bagian dari sejarah perlawanan atau menjadi catatan kelam pengkhianatan.
Gunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat—bukan untuk mengamankan proyek, tetapi untuk mengembalikan kedaulatan rakyat atas tanahnya.
Rakyat tidak butuh DPRD yang pandai berpidato, tetapi DPRD yang berani berpihak. Karena suara rakyat yang terampas tanahnya bukan sekadar tuntutan ekonomi, melainkan jeritan atas martabat dan keberlangsungan hidup.
Agitasi rakyat adalah bara kecil yang bisa menyalakan perubahan besar.
Dari kesadaran hukum lahir gerakan yang terorganisir: forum warga, paralegal rakyat, jaringan advokasi, dan solidaritas lintas daerah.
Di sana, hukum tidak lagi menjadi milik penguasa, tetapi alat pembebasan bagi mereka yang tertindas.
Dan bila DPRD terus bersembunyi di balik tembok kantor, maka rakyat akan menulis sejarahnya sendiri—dengan darah, keringat, dan keberanian.
Tanah tidak bisa berbicara, tapi rakyat bisa berteriak. Dan selama rakyat masih berteriak, hukum belum mati. Agitasi rakyat adalah denyut nadi demokrasi; perlawanan mereka adalah cermin bagi DPRD untuk kembali ingat siapa yang seharusnya mereka wakili.