Presnews.my.id / Sampang – Sidang lanjutan kasus dugaan penipuan dengan terdakwa Samsiyah binti Ach Hasan, seorang ASN Dinas PUPR Sampang, kembali digelar di Pengadilan Negeri Sampang pada Senin (21/7/2025).
Sidang kedua ini beragenda pembacaan nota keberatan (eksepsi) oleh tim kuasa hukum terdakwa, Ach. Bahri dan Didiyanto, S.H., M.Kn., yang secara tegas menyebut bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) lemah, tidak berdasar hukum, dan menyimpang dari fakta-fakta yang ada.
Nama Samsiyah menjadi sorotan lantaran penetapannya sebagai tersangka dinilai sarat kejanggalan. Banyak pihak menilai proses hukum terhadapnya terkesan dipaksakan, bahkan berpotensi menjadi bentuk kriminalisasi terhadap warga sipil yang justru mengalami kerugian.
Kasus ini bermula dari transaksi jual beli tanah beserta rumah kos milik Samsiyah dengan seorang perempuan bernama Rindawati, warga Desa Baruh, Kecamatan Sampang. Nilai yang disepakati sebesar Rp650 juta. Namun, hingga kini, Samsiyah baru menerima uang tunai sebesar Rp153 juta. Karena pelunasan tak kunjung dibayarkan, ia menahan hak atas obyek yang diperjualbelikan dan belum menyerahkannya kepada pembeli.
“Saya hanya menerima Rp153 juta. Saya tidak pernah menyuruh siapa pun mengambil sisa uang itu. Kalau belum lunas, bagaimana mungkin saya serahkan tanah dan kos-kosan itu? Di mana unsur penipuannya?” kata Samsiyah seperti dikutip dari pernyataan kuasa hukumnya, Didiyanto.
Yang mengherankan, pelapor mengklaim telah melunasi pembayaran. Namun, dalam persidangan terungkap bahwa uang pelunasan diserahkan kepada seorang pria bernama Rizal. Padahal, Rizal bukan kuasa hukum, bukan anggota keluarga Samsiyah, dan tidak memiliki hubungan hukum resmi apa pun dengannya. Fakta ini dianggap krusial dan menguatkan bahwa terdakwa tidak pernah menerima pelunasan sebagaimana mestinya.
Rizal sendiri kini telah ditetapkan sebagai tersangka usai sempat menghilang. Tim kuasa hukum Samsiyah menilai langkah aparat hukum yang lebih dahulu menetapkan kliennya sebagai tersangka dibanding Rizal menunjukkan inkonsistensi penegakan hukum.
“Dalam Pasal 378 KUHP, penipuan mensyaratkan adanya tipu muslihat dan niat jahat untuk memperkaya diri sendiri. Dalam kasus ini, klien kami justru menjadi korban karena tidak menerima pelunasan. Di mana niat jahatnya?” tegas Didiyanto.
Ia juga mengkritik keras jalannya penyidikan yang dinilai tidak objektif dan abai dalam menggali fakta-fakta penting, termasuk siapa sebenarnya yang menerima uang dari pelapor.
“Kami mendesak majelis hakim untuk berpikir jernih dan adil. Klien kami tidak menerima uang sesuai kesepakatan, tidak pernah memberi kuasa kepada siapa pun, dan belum menyerahkan obyek karena belum lunas. Maka tuduhan penipuan sangat tidak berdasar dan cacat logika hukum,” tegasnya.
Secara hukum, baik pidana maupun perdata, transaksi jual beli baru sah jika pembayaran dilakukan secara penuh. Jika belum lunas, maka pemindahan hak belum terjadi. Menahan obyek karena belum dibayar lunas adalah tindakan sah secara hukum, bukan penipuan.(Wir)