Presnews.my.id|Bogor –,11 Desember 2025 Bayangkan: di tengah lautan luas yang memisahkan ribuan pulau, ada benang merah yang tidak terlihat tapi selalu menyatukan. Benang itu bukan lagi kayu atap atau anyaman rotan — itu adalah solidaritas yang tumbuh dari akar-akar kearifan Nusantara, sebagai gerakan moral yang mendasari jiwa kebangsaan, disemangati kesetaraan, hak pendidikan, dan kesehatan yang tak tergoyahkan. Dan seperti perumpamaan filosofi gajah yang abadi dari Nusantara: bangsa kita adalah segerombolan gajah yang berjalan bersama — tidak satu yang lebih kuat dari semua, tapi semua yang membuat satu menjadi kuat, dengan karakteristik yang masing-masing menyumbang ke kekuatan bersama.
Di hati Nusantara, "solidaritas" tidak ada di kamus sebagai istilah asing atau sekadar frasa yang menarik. Ia adalah gotong royong yang memiliki akar moral — tindakan yang dilakukan bukan karena ada manfaat segera, tapi karena rasa kewajiban terhadap sesama manusia. Beda dengan slogan yang hanya ternganga di spanduk atau kebersamaan yang hanya berdasarkan kepentingan sementara, gotong royong adalah komitmen yang harus dijalankan: kesuksesan dan kesulitan sesama adalah milik kita semua, tanpa memandang apa yang kita dapatkan balik.
Ingat perumpamaan filosofi gajah? Seorang raja pernah meminta para punggawa untuk mengangkat batu besar yang menjadi penghalang air irigasi — batu yang tidak bisa diangkat oleh satu orang, bahkan oleh satu gajah tunggal. Setiap punggawa mencoba sendiri dan gagal — sampai mereka memahami bahwa mereka harus bekerja sama seperti gajah yang bergerombolan. Setiap gajah menaruh badannya di bawah batu: yang paling kuat menahan bagian terberat, yang paling lincah menyesuaikan posisi, yang paling cerdas memimpin arah — dan bersama-sama, mereka mengangkat batu itu dengan mudah, sehingga air bisa mengalir dan semua warga mendapatkan manfaat. Maknanya jauh melampaui kerja sama: ia menceritakan bahwa solidaritas adalah tentang memahami karakteristik masing-masing — kekuatan, kelemahan, keunikan — dan menyatukannya untuk tujuan moral yang lebih besar. Tidak ada yang bekerja karena kepentingan pribadi, tapi karena semua tahu bahwa keberhasilan bersama adalah satu-satunya jalan.
Ingat cerita "Lutung Kasarung" dari Jawa? Ketika Putri Citra Kirana tercela dan diusir, bukan raja atau bangsawan yang menyelamatkannya — tapi warga kecil yang bekerja sama menyembuhkannya dan membantunya kembali ke takhta. Itu adalah solidaritas yang tak pandang pangkat dan kepentingan: di mata kearifan Nusantara, setiap orang memiliki nilai yang sama, dan setiap tangan yang menolong berharga karena kebaikan hatinya. Ada pribahasa Jawa yang pas banget: "Rumah tangga sebaiknya dibangun bersama, biar kuat menahan angin badai" — artinya, setiap usaha yang dibangun dengan kebersamaan nilai akan lebih kokoh dan mampu menghadapi segala kesulitan, jauh melampaui kebersamaan yang hanya didasari kepentingan.
Di sini, semangat kesetaraan gender juga terjalin, bersama hak pendidikan dan kesehatan sebagai bagian dari gerakan moral itu. Di banyak daerah, perempuan tidak hanya berperan di rumah — mereka adalah yang memimpin gotong royong membangun sekolah, mengelola pasar, bahkan menjadi tokoh adat yang dihormati. Contohnya, di Desa Banyuwangi, Jawa Timur, ada gerakan "Wanita Tani Peduli" yang membuat perempuan dan laki-laki bekerja sama di ladang: laki-laki menangani pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik, perempuan mengelola pengeluaran dan panen, dan keduanya bersama-sama mengajar anak-anak di kelas malam. Mereka berbagi tugas secara adil dan mendapatkan hasil yang sama — bukan karena mereka butuh satu sama lain untuk keuntungan, tapi karena mereka percaya bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, dan karakteristik masing-masing adalah kekuatan bersama. Lebih dari itu, mereka juga membangun posyandu sederhana dan mengajak anak-anak — laki-laki maupun perempuan — untuk sekolah tanpa biaya. Pribahasa Sunda yang menggambarkan ini: "Bumi dijinjing bareng, langit dijunjung bareng" — artinya, semua urusan hidup, termasuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan, harus dibagi tanggung jawab bersama sebagai kewajiban moral, agar semua bisa menikmatinya tanpa syarat.
Kita kenal dengan Bhinneka Tunggal Ika — berbeda-beda tapi tetap satu. Tapi apakah kita benar-benar mengerti maknanya secara moral? Bhinneka bukan cuma tentang keberagaman suku, bahasa, atau agama — itu adalah kesetaraan yang menyatakan bahwa tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah hanya karena asal usulnya, termasuk jenis kelamin, dan setiap orang berhak mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak sebagai hak asasi manusia. Ini adalah pondasi moral yang membuat solidaritas tidak sekadar amal, tapi gerakan yang mempertahankan martabat setiap individu.
Perumpamaan gajah juga menguatkan pondasi ini dengan cara yang kuat. Setiap gajah di kawanan memiliki ukuran, kekuatan, warna kulit, dan cara bergerak yang berbeda — ada yang besar, ada yang kecil, ada yang ceria, ada yang tenang — tapi tidak ada yang dianggap lebih penting dari yang lain. Yang penting adalah mereka semua bekerja sama menuju tujuan yang sama: melindungi satu sama lain, mencari makanan bersama, dan membesarkan anak-anak. Ini adalah makna dalam dari kesetaraan: keberagaman karakteristik tidak membuat kita terbagi, melainkan membuat kita lebih kuat. Begitu juga dengan bangsa kita: meskipun berbeda suku, agama, atau jenis kelamin, setiap warga memiliki peran yang sama pentingnya dalam membangun negara. Tanpa satu pun, kawanan gajah akan lemah, dan tanpa satu pun warga, bangsa akan kehilangan kekuatannya yang sesungguhnya.
Di Sulawesi, ada "siri' na pacce" — rasa hormat dan kesetaraan yang membuat setiap anggota masyarakat merasa dihargai, tanpa memandang apakah dia laki-laki atau perempuan, dan menjamin bahwa semua anak bisa sekolah dan semua warga bisa berobat. Di Maluku, "gotong royong pela gandong" menghubungkan desa-desa yang berbeda suku dan agama dalam ikatan persaudaraan yang tak terputus — dan di dalamnya, perempuan selalu memiliki suara yang sama pentingnya dengan laki-laki dalam membuat keputusan tentang pembangunan sekolah dan puskesmas. Ini adalah kebersamaan yang didasari nilai, bukan kepentingan. Pribahasa Jawa yang menguatkan ini: "Jangan lihat wong, lihat ucapan — jangan lihat kulit, lihat budi" — artinya, nilai seseorang tidak terletak pada jenis kelamin atau latar belakang, tapi pada sikap moral dan kontribusinya untuk sesama, jauh dari pertimbangan kepentingan pribadi.*
Gerakan yang mengukuhkan ini juga ada di kota-kota. Di Jakarta, ada "Kelas Pekerja Bersama" yang mengajarkan buruh perempuan dan laki-laki tentang hak-hak mereka di tempat kerja — dari gaji yang adil sampai kesempatan promosi yang sama. Lebih jauh, mereka juga membentuk kelompok kesehatan bersama dan membantu anak-anak pekerja untuk masuk sekolah swasta dengan biaya terjangkau — semua itu dilakukan sebagai gerakan moral melawan diskriminasi, bukan karena mereka ingin mendapatkan keuntungan dari satu sama lain. Ini adalah solidaritas yang tidak sekadar mengikat, tapi menumbuhkan kesatuan yang sesungguhnya — di mana keberagaman bukan jadi penghalang, melainkan kekuatan yang mendukung terpenuhinya hak pendidikan dan kesehatan untuk semua sebagai bagian dari gerakan kebangsaan. Pribahasa Sunda yang pas: "Sasak beda, bumbu beda — tapi sehatna sumping di talun" — artinya, meskipun berbeda cara dan latar belakang, kita semua memiliki tujuan moral yang sama: hidup sejahtera dan sehat bersama di tanah ini, tanpa terikat oleh kepentingan sementara.
Tanpa kesetaraan sebagai pondasi moral, solidaritas cuma sekadar amal semata — memberi tanpa melihat bahwa sesama juga berhak berdiri sama dengan kita dan mendapatkan akses ke layanan dasar. Di Nusantara, kita belajar bahwa setiap orang adalah bagian dari tubuh yang sama: jika satu bagian sakit, seluruh tubuh akan merasa sakit — baik itu bagian laki-laki maupun perempuan, dan tanpa pendidikan, tubuh bangsa akan lemah dan tidak bisa berkembang dalam jiwa moral yang benar.
Sejak zaman perjuangan kemerdekaan, solidaritas Nusantara telah membuktikan dirinya sebagai gerakan moral yang mendasari kemerdekaan bangsa. Para pahlawan dari Sabang sampai Merauke tidak kenal batas pulau — mereka berjuang bersama untuk satu tujuannya: kemerdekaan Indonesia — bukan karena mereka akan mendapatkan jabatan atau kekayaan, tapi karena mereka percaya bahwa bangsa ini berhak hidup bebas dan adil. Dan di antara mereka, banyak perempuan yang berperan penting — mulai dari Kartini yang menggugat ketidakadilan gender dan menuntut hak pendidikan untuk perempuan sebagai hak moral, sampai Cut Nyak Dhien yang memimpin pasukan melawan penjajah sambil menjaga kesehatan warga di daerah peperangan sebagai kewajiban moral. Itu adalah semangat kebangsaan yang tidak tumbuh dari slogan, tapi dari pengalaman bersama menghadapi musuh yang sama, termasuk diskriminasi dan kurangnya akses ke pendidikan serta kesehatan — semua itu didasari nilai, bukan kepentingan. Pribahasa Jawa yang menggambarkan semangat ini: "Gagang sepur sebatang, tujuannya satu arah" — artinya, meskipun kita banyak, jika bersatu dengan tujuan moral yang sama, kita akan mencapai apa yang kita inginkan untuk bangsa, jauh melampaui kebersamaan yang hanya didasari kepentingan.
Seperti kawanan gajah yang berjalan melintasi hutan yang sulit — penuh jurang, binatang buas, dan hujan lebat — para pahlawan kita tidak takut menghadapi rintangan. Yang berani berada di depan, yang cermat menjaga belakang, yang pintar mencari jalan — dan semua saling melindungi. Ini adalah makna filosofis gajah dalam perjuangan kebangsaan: solidaritas adalah tentang mengakui dan menghargai karakteristik masing-masing, lalu menyatukannya menjadi kekuatan yang tak terlawan. Setiap langkah yang mereka ambil bersama membuat jalur lebih mudah untuk dilewati, dan setiap kontribusi membuat tujuan semakin dekat — semua tanpa memikirkan apa yang akan didapatkan balik.
Hari ini, semangat itu masih hidup. Ketika Sumatera terkena gempa, warga dari seluruh bagian di Nusantara, baik Jawa, bahkan Papua segera mengirim bantuan — dan perempuan tidak hanya menjadi penerima, tapi juga pelaku bantuan yang terdepan dalam membangun posko kesehatan sementara dan mengirim buku bacaan ke anak-anak yang kehilangan sekolah. Ketika Kalimantan mengalami kebakaran hutan, para relawan dari seluruh negeri turun ke lapangan — dengan prinsip bahwa tugas dan tanggung jawab dibagi secara adil antara laki-laki dan perempuan, termasuk menyebarkan informasi kesehatan dan membantu anak-anak kembali ke kelas — semua itu dilakukan sebagai tindakan moral, bukan karena ada manfaat yang akan didapat. Pribahasa Sunda yang menguatkan: "Bale ijo, bale beureum — semua dilindungi sang hyang widhi" — artinya, semua daerah dan semua warga Nusantara adalah bagian dari satu keluarga yang harus saling melindungi dan menopang sebagai kewajiban moral yang diberikan Tuhan.
Ada juga gerakan "Nusantara Tanpa Diskriminasi & Tanpa Kekurangan Layanan Dasar" yang menghubungkan aktivis dari seluruh pulau untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan laki-laki secara setara — mulai dari akses pendidikan yang merata sampai kebijakan publik kesehatan yang adil untuk semua warga, termasuk di daerah terpencil. Ini adalah solidaritas yang berjiwa bangsa dan bernilai moral — mengingatkan kita bahwa kita bukan hanya warga pulau, tapi warga Indonesia yang satu, di mana setiap orang berhak hidup tanpa diskriminasi dan mendapatkan layanan dasar yang layak, tanpa terikat oleh kebersamaan kepentingan.
Jadi, solidaritas itu bukan sekedar slogan — ia adalah gerakan moral paling mendasar yang menghidupkan jiwa kebangsaan. Seperti kawanan gajah yang berjalan bersama, ia adalah kekuatan yang berasal dari kebersamaan nilai, bukan kepentingan — yang menjadikan ribuan pulau menjadi satu kesatuan yang tak terpecah.
Ia adalah kebersamaan yang memahami dan menghargai karakteristik masing-masing — kekuatan, keunikan, kebutuhan — dan menyatukannya untuk kebaikan bersama. Ia membuat setiap individu lebih kuat daripada dirinya sendiri — yang membuat kita mampu menghadapi setiap badai — dari bencana alam sampai tantangan sosial — karena kita tahu, kita bertindak bukan untuk keuntungan sendiri, tapi untuk tujuan moral yang lebih besar. Setiap tangan yang menolong, setiap suara yang membela hak sesama, setiap langkah yang menguatkan kesetaraan, pendidikan, dan kesehatan — itu semua adalah bentuk solidaritas yang membangun bangsa dalam martabat moral yang tinggi.
Visi kita jelas dan tegas: sebuah Indonesia yang kuat, adil, dan sejahtera, di mana setiap warga — tanpa pandang jenis kelamin, suku, agama, atau daerah asal — mendapatkan hak yang layak dan hidup dalam kebersamaan nilai yang tulus. Ini adalah tujuan moral yang kita perjuangkan, bukan sekadar impian yang diucapkan dalam slogan.
Jangan biarkan solidaritas hanya menjadi kata-kata. Jadikan ia tindakan sehari-hari. Karena hanya dengan solidaritas yang berakar pada moral — tindakan yang tulus, yang menghargai karakteristik masing-masing, bukan kebersamaan kepentingan — kita bisa wujudkan visi itu. Bukan besok, bukan nanti, tapi mulai dari sekarang.
Oleh Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) Jurnalis Senior Pewarna Indonesia, Penggiat Budaya dan Wasekjen Ormas Parkindo
