Laporan warga mengungkap adanya penahanan ATM dan buku tabungan (Butab) milik Keluarga Penerima Manfaat (KPM) oleh oknum tertentu. Praktik ini jelas merupakan pelanggaran berat. Dugaan cawe-cawe dalam proses penentuan penerima hingga data tidak tepat sasaran semakin mempertebal kecurigaan bahwa integritas program bansos telah jauh menyimpang dari tujuan awalnya.
Seorang pengamat kebijakan sosial yang enggan disebut namanya memberikan kritik paling pedas atas situasi ini.
“Pernyataan Dinsos itu bagus di panggung, tapi masyarakat butuh tindakan nyata. Faktanya, oknum masih bebas menahan ATM dan Butab, mengatur pencairan, bahkan memanipulasi data. Ada warga yang mengaku tidak pernah menerima bantuan, tapi tercatat sebagai penerima. Pertanyaan publik sederhana: apa konsekuensinya? Siapa yang ditindak? Jangan cuma keras di mikrofon, tapi tumpul di lapangan.”
Pengamat itu menegaskan bahwa kasus ini tidak bisa dianggap sepele, sebab yang dirampas adalah hak dasar keluarga miskin.
“Kalau Butab dan ATM warga bisa ditahan oknum, itu bukan sekadar kelalaian — itu pelanggaran serius. Dinsos harus berani membuka nama oknum dan menyerahkannya ke aparat penegak hukum. Kalau tidak, publik akan menilai semua ancaman itu hanya slogan.”
Ia menambahkan bahwa mereka siap mengawal Kepala Dinsos untuk membuktikan apakah komitmen yang disampaikan selama ini benar-benar nyata.
“Kami siap mengawal Kepala Dinsos untuk turun ke lapangan dan melihat sendiri apakah program-program itu benar-benar tersalurkan dan tepat sasaran, atau justru hanya formalitas belaka. Jangan sampai laporan bagus di atas kertas, tapi hancur di bawah.”
Di beberapa kecamatan, warga mulai berani bersuara. Mereka mempertanyakan komitmen pemerintah daerah yang mengaku akan bergerak cepat, namun laporan penyimpangan terus berulang tanpa kejelasan tindak lanjut.
Salah satu warga korban penahanan ATM dan butab mengungkapkan:
“Oknum bilang hanya mau dipegang sementara, tapi sampai berbulan-bulan tidak dikembalikan. Kami tidak bisa cairkan bantuan. Kami orang kecil, kalau protes takut malah dicoret dari penerima.”
Padahal sebelumnya, Kepala Dinsos Moh. Anwari Abdullah telah berulang kali menegaskan:
“Kalau ada yang bermain-main dengan bansos, saya sendiri yang akan melaporkannya.”
“Pendamping tidak boleh cawe-cawe dalam pencairan.”
“Kami akan bertindak sesuai prosedur.”
Namun temuan-temuan lapangan justru menggugurkan keyakinan publik terhadap ketegasan itu.
“Kalau memang sudah ada temuan, mana laporan resminya? Mana oknum yang diberi sanksi? Publik tidak butuh janji — publik butuh transparansi dan tindakan.”
Masyarakat kini menuntut tiga langkah konkret:
1. Audit menyeluruh terhadap seluruh pendamping PKH di setiap kecamatan.
2. Sanksi administratif dan hukum bagi oknum yang menahan ATM/Butab atau mengintervensi pencairan.
3. Pengaduan cepat yang benar-benar ditindak, bukan sekadar dicatat sebagai formalitas.
Bagi keluarga miskin, bansos bukan sekadar angka dalam laporan — melainkan kebutuhan hidup sehari-hari. Skandal ini kembali membuka mata publik bahwa program yang seharusnya menjadi penopang rakyat kecil justru dijadikan ladang permainan oleh oknum tertentu.
Kini, Dinsos Sampang berada di persimpangan: membuktikan ketegasan yang mereka suarakan, atau membiarkan kepercayaan masyarakat runtuh satu per satu.(Redaksi)
